Tiara
Aku bukan siapa-siapa.
Aku cuma gadis desa biasa. Namaku juga biasa-biasa saja. Mutia Nurbaya.
Aku cuma gadis Minang yang belum genap berumur delapan belas, baru berkepala satu, namun setidaknya bila orang bertanya mengenai cinta, mungkin itulah yang paling kupahami.
Aku paham, setelah aku bertemu Sutrisno.
Ia pria muda yang baik hati, teman gerejaku. Kami selalu berlatih piano bersama, dalam rangka mempersiapkan aku untuk mengiringi misa.
Saat aku menatap matanya, aku tahu, aku jatuh cinta padanya.
Sutrisno mengubah semuanya, dari kebiasaanku berjalan menunduk, dari kebiasaanku minder dan tidak percaya diri berbicara di depan umum, semua kegugupanku, semua emosiku yang meledak-ledak.
Aku menyayanginya. Kakakku, sahabatku.
Ketika memikirkan ini, aku sedang tengah berjalan-jalan sambil melamun, menyusuri festival Minang nan Rancak, yang isinya pameran kuliner jajanan Minangkabau yang sangat kunanti-nantikan. Tempatnya dekat rumahku, jadi aku tinggal berjalan kaki. Aku sendirian karena hari ini semua orang kelihatannya sibuk sendiri.
Brak!
Aku menabrak seorang pria berperawakan sedang. Es selendang mayangnya jatuh berceceran.
"Mutia?"
Begitu sadar, aku telah dikelilingi lengan Sutrisno. Ternyata aku menabraknya.
"Eh, Sutrisno...maaf nabrak. Kuganti yah, selendang mayangnya?" ujarku, malu. Mukaku merah merata.
"Nggak usah. Kamu temani aku makan saja. Aku nggak punya cewek buat nemenin malam Minggu nih..."
"Halah...ya sudah. Ayo cari tempat duduk."
Rasanya seperti mimpi! Baru beberapa detik aku memikirkannya, ia muncul begitu saja di depanku, malam Minggu denganku, makan malam denganku!
Oh, Sutrisno. Untung saja kamu tidak bisa mendengar degup jantungku yang begitu cepat.
Untung saja dia tidak menyadari bahwa mukaku merah merona seperti ini...
"Tia, kamu mau ikut aku ke pertunjukan orkestra temanku di Gedung Serbaguna?"
"Hah?" aku tersadar dari lamunanku.
"Sate kelincinya jangan diaduk-aduk saja. Nanti dingin, mendingan aku habiskan, sini..."
"Enak saja kamu! Hahaha. Mau. Bayar berapa toh?"
"Nggak usah bayar, aku traktir."
Serius? Astaga, aku rasanya ingin mati sekarang.
- to be continued
Aku cuma gadis desa biasa. Namaku juga biasa-biasa saja. Mutia Nurbaya.
Aku cuma gadis Minang yang belum genap berumur delapan belas, baru berkepala satu, namun setidaknya bila orang bertanya mengenai cinta, mungkin itulah yang paling kupahami.
Aku paham, setelah aku bertemu Sutrisno.
Ia pria muda yang baik hati, teman gerejaku. Kami selalu berlatih piano bersama, dalam rangka mempersiapkan aku untuk mengiringi misa.
Saat aku menatap matanya, aku tahu, aku jatuh cinta padanya.
Sutrisno mengubah semuanya, dari kebiasaanku berjalan menunduk, dari kebiasaanku minder dan tidak percaya diri berbicara di depan umum, semua kegugupanku, semua emosiku yang meledak-ledak.
Aku menyayanginya. Kakakku, sahabatku.
Ketika memikirkan ini, aku sedang tengah berjalan-jalan sambil melamun, menyusuri festival Minang nan Rancak, yang isinya pameran kuliner jajanan Minangkabau yang sangat kunanti-nantikan. Tempatnya dekat rumahku, jadi aku tinggal berjalan kaki. Aku sendirian karena hari ini semua orang kelihatannya sibuk sendiri.
Brak!
Aku menabrak seorang pria berperawakan sedang. Es selendang mayangnya jatuh berceceran.
"Mutia?"
Begitu sadar, aku telah dikelilingi lengan Sutrisno. Ternyata aku menabraknya.
"Eh, Sutrisno...maaf nabrak. Kuganti yah, selendang mayangnya?" ujarku, malu. Mukaku merah merata.
"Nggak usah. Kamu temani aku makan saja. Aku nggak punya cewek buat nemenin malam Minggu nih..."
"Halah...ya sudah. Ayo cari tempat duduk."
Rasanya seperti mimpi! Baru beberapa detik aku memikirkannya, ia muncul begitu saja di depanku, malam Minggu denganku, makan malam denganku!
Oh, Sutrisno. Untung saja kamu tidak bisa mendengar degup jantungku yang begitu cepat.
Untung saja dia tidak menyadari bahwa mukaku merah merona seperti ini...
"Tia, kamu mau ikut aku ke pertunjukan orkestra temanku di Gedung Serbaguna?"
"Hah?" aku tersadar dari lamunanku.
"Sate kelincinya jangan diaduk-aduk saja. Nanti dingin, mendingan aku habiskan, sini..."
"Enak saja kamu! Hahaha. Mau. Bayar berapa toh?"
"Nggak usah bayar, aku traktir."
Serius? Astaga, aku rasanya ingin mati sekarang.
- to be continued
Comments
Post a Comment