Enrique and Me [Untold Story]
Waktu itu hari terakhirku berada di Saint-Ouen. Besok pagi-pagi sekali aku akan berangkat menuju Vienna, mengejar mimpiku, meninggalkan Sebastien beserta teman-teman sekolahku, juga teman-teman gereja kami.
Ia berjanji akan menemuiku di taman, tempat biasa kami bertemu tiap malam untuk mengajak jalan-jalan Enrique -- anjingku.
Pukul delapan. Harusnya ia sudah duduk di ayunan.
Aku berlari dengan semangat menuju taman.
Begitu tiba di sana, aku tidak melihat siapa-siapa. Yang kulihat hanya ayunan yang diam, seluncuran anak-anak, rerumputan, kucing liar.
Lampunya mati, aku mulai menggigil. Aku benci kegelapan. Huh, mengapa lampunya harus mati saat tidak ada Sebastien disini? Kalau saja ia disini, aku mungkin sudah memeluk lengannya.
Aku memutuskan untuk berjalan ke depan halaman rumah Sebastien. Kalau aku membawa Enrique, pasti anjing-anjing peliharaan tetangganya menggonggong dengan keras. Mungkin, ia akan sadar aku sedang di depan rumahnya. Atau malah Sabine, kakaknya, yang keluar.
Anjing menggonggong. Gang telah kubuat ricuh oleh suara anjing. Maafkan aku, tetangga-tetangga yang budiman.
Mobilnya belum ada. Biasanya, Renault 25 miliknya sudah bertengger di depan rumahnya. Mobil klasik kesukaannya.
Mengecewakan.
Aku lalu berlari menuju gang-gang lainnya, berputar-putar untuk mengulur waktu. Waktuku hanya tiga puluh menit saja, dan aku tidak boleh berlama-lama di luar rumah. Bisa-bisa, aku dikira diculik abang-abang bangunan yang sedang mangkal di sekitar situ.
Tiga gang lewat. Empat gang. Total delapan gang sudah kutelusuri. Aku belum mau pulang...
Aku ingin bertemu Sebastien.
Dengan segenap harapan aku memutar balik arah langkahku, menuju gang ketujuh, tempat ia tinggal.
Renault 25 masih belum terparkir.
Sebastien... où êtes-vous réellement? Tu me manque .. :(
Aku menyusuri jalanan penuh cahaya lampu, yang kemudian disinari sorot lampu mobil. Peugeot.
Bukan Sebastien.
Aku akhirnya menyerah dan berjalan gontai ke gang ketiga, tempat rumahku berada.
Mungkin, Sebastien melupakanku. Melupakan janjinya.
Hanya Enrique yang tahu aku serabutan mencarinya, menunggunya, berlari-lari sampai nafasku tersengal, demi Sebastien.
Hanya Enrique yang melihatku menangis terduduk di taman.
Ia berjanji akan menemuiku di taman, tempat biasa kami bertemu tiap malam untuk mengajak jalan-jalan Enrique -- anjingku.
Pukul delapan. Harusnya ia sudah duduk di ayunan.
Aku berlari dengan semangat menuju taman.
Begitu tiba di sana, aku tidak melihat siapa-siapa. Yang kulihat hanya ayunan yang diam, seluncuran anak-anak, rerumputan, kucing liar.
Lampunya mati, aku mulai menggigil. Aku benci kegelapan. Huh, mengapa lampunya harus mati saat tidak ada Sebastien disini? Kalau saja ia disini, aku mungkin sudah memeluk lengannya.
Aku memutuskan untuk berjalan ke depan halaman rumah Sebastien. Kalau aku membawa Enrique, pasti anjing-anjing peliharaan tetangganya menggonggong dengan keras. Mungkin, ia akan sadar aku sedang di depan rumahnya. Atau malah Sabine, kakaknya, yang keluar.
Anjing menggonggong. Gang telah kubuat ricuh oleh suara anjing. Maafkan aku, tetangga-tetangga yang budiman.
Mobilnya belum ada. Biasanya, Renault 25 miliknya sudah bertengger di depan rumahnya. Mobil klasik kesukaannya.
Mengecewakan.
Aku lalu berlari menuju gang-gang lainnya, berputar-putar untuk mengulur waktu. Waktuku hanya tiga puluh menit saja, dan aku tidak boleh berlama-lama di luar rumah. Bisa-bisa, aku dikira diculik abang-abang bangunan yang sedang mangkal di sekitar situ.
Tiga gang lewat. Empat gang. Total delapan gang sudah kutelusuri. Aku belum mau pulang...
Aku ingin bertemu Sebastien.
Dengan segenap harapan aku memutar balik arah langkahku, menuju gang ketujuh, tempat ia tinggal.
Renault 25 masih belum terparkir.
Sebastien... où êtes-vous réellement? Tu me manque .. :(
Aku menyusuri jalanan penuh cahaya lampu, yang kemudian disinari sorot lampu mobil. Peugeot.
Bukan Sebastien.
Aku akhirnya menyerah dan berjalan gontai ke gang ketiga, tempat rumahku berada.
Mungkin, Sebastien melupakanku. Melupakan janjinya.
Hanya Enrique yang tahu aku serabutan mencarinya, menunggunya, berlari-lari sampai nafasku tersengal, demi Sebastien.
Hanya Enrique yang melihatku menangis terduduk di taman.
Comments
Post a Comment