L'Epilogue.

Ia berdiri di depanku, mengatakan sesuatu yang paling tak ingin kuingat.

"Maaf, Renee. Tapi aku tak bisa mengikuti ajakanmu untuk bersekolah di Vienna -- aku tidak sampai hati meninggalkan tanah airku, kampung kecilku, Saint-Ouen, orkestraku, Conservatoire..."

Aku hanya terdiam.

"Aku harap kau mengerti. Mimpiku jadi lulusan Conservatoire Paris..."

Memang apa yang mau dimengerti? Memang lulusan Conservatoire begitu berbeda dengan Vienna Institute?

Memangnya aku tidak termasuk dalam impinya?

"...Aku tidak ingin meninggalkan teman-temanku. Ayah ibuku. Sabine."

Teman?

Ah, aku bukan bagian hidupnya lagi. Bukanlah lagi yang terpenting.

Aku hanya tokoh sampingan yang telah berlabuh di Vienna.

Tak lama, kami berpisah jalan. Ia memasuki persimpangan itu -- aku ke pintu keluar, ia ke jalur imigrasi.

Jalan kami telah berbeda, bercabang. Terputus sampai disini.

Aku pulang ke Stroizzigasse 6-8, asrama tempatku tinggal, setelah mengantar Sebastien ke bandara. Aku mulai memainkan grand piano, tenggelam dalam lagu Barcarolle karya Tchaikovsky.

Permainan yang dulu kupamerkan ke Sebastien.

Rasanya hatiku memang telah hancur, atau malah membeku, atau malah tidak berbentuk lagi. Hatiku telah dingin, kehilangan jiwa Sebastien yang tak pernah lepas dari hatiku selama sepuluh tahun terakhir ini.

Cinta memang seperti narkotik. Gambaran Pilar mengenai cinta di salah satu buku Paulo Coelho memang tepat.

Aku kehilangan morfinku. Sebastienku. Dan sekarang aku dalam fase dimana aku sangat membutuhkan morfin itu.

Mungkin, aku akan menjadi Renee Eigner yang muram, yang tidak bisa mencintai pria lain lagi selain dirinya.

Mungkinkah hanya cinta Sebastien Bernard yang mampu menutupi luka di hatiku ini.

Aku menatap keluar, melihat rembulan, dan memainkan Moonlight Sonata 1st Movement, sebagai envoi opera kami.

Comments

Popular Posts