Air Mata Mutia


“Lelaki itu bajingan,” ujar Papa geram.

Aku terisak. Aku hanya bisa menangisi pedihnya hati ini dikhianati Anton. Kami memang berhubungan jarak jauh sejak 4 bulan lalu, aku di Yogyakarta, ia di Bandung. Tadinya, kami ingin menimba ilmu bersama-sama di Yogyakarta, namun ia tidak lolos ujian saringan masuk SNMPTN ke Universitas Gajahmada. Jadilah ia belajar Arsitektur di Institut Teknologi Bandung. Kami tadinya pasangan calon mahasiswa kedokteran dan arsitektur yang dibilang pasangan paling populer di SMA, namun sekarang sudah sirna semuanya, sudah tiada sejak aku tidak sengaja dikirimi oleh temanku, foto mesra Anton dengan wanita barunya, Mawar. Lebih cantik dariku, lebih wangi dariku, Mutiara Pramoedya.

Aku benci padanya.
Ingin rasanya tubuhnya itu kujadikan cadaver saja, kau tahu ‒ mayat untuk praktek lab anatomi tubuh manusia. Biar saja kukorek-korek organ tubuhnya yang masih berfungsi, biarkan saja ia mati perlahan-lahan di genggaman pisau bedahku yang baru. Biar saja, harum tubuhnya yang khas itu berubah menjadi aroma formaldehyde yang memabukkan.

Aku tak kunjung mengerti, kok Anton sampai hati ya berbuat seperti ini? Janji manisnya tinggal tipuan belaka, sampah rongsokan yang pantasnya hanya dibuang ke tempat sampah biological hazard, yang digunakan untuk membuang sampah-sampah berbahaya di laboratorium. Maka kubakar semua barang-barang yang terkait akan dirinya, termasuk semua foto-foto dan hadiah-hadiah teddy bear yang ia beli dari Teddy House di mal dekat rumah, walaupun semuanya itu sangat kusayangkan karena Primrose, bonekaku, sangat cantik dan mahal harganya. Bakar semuanya. Bakar!

Semua lelaki tidak bisa dipercaya. Aku selalu berpikir seperti itu sejak peristiwa naas ini, memang wajar ‒ namun aku tahulah, tidak semua pria seperti itu. Banyak lelaki yang baik budiman, seperti Ayahku, Jenderal Setiabudhi. Namun semuanya berubah sejak aku bertemu dengan kakak seniorku di kampus, Sutrisno Wiryadi. Ia segalanya. Ia senyumku, ia cahaya mentariku. Ia satu-satunya orang yang bisa menghapus air mataku yang kerap kali bercucuran ditengah lamunanku hanya dengan memikirkannya saja. Ia prince charming-ku, ia pangeran berkuda putihku yang paling tampan diantara lelaki-lelaki lainnya. Pria bersahaja khas Yogyakarta yang logat Jawanya kental namun keturunan Tionghoa, ya, itulah belahan jiwaku.
Tiba-tiba, alunan piano yang lembut menghanyutkanku. Piano surgawi...

“Mutia...kok bengong?”
Aku terlonjak mendengar suara Sutrisno. “Eh, Mas... maaf. Aku lapar. Dari tadi pagi aku belum makan...”
“Lah, makan dong Mbak... Jangan panggil aku Mas ah, memangnya berapa sih beda usia kita Mut... Panggil aja Sutrisno. Cuma beda dua tahun sama kamu.”
“Mas sendiri panggil aku Mbak...”
“Itu kan ngeledek kamu aja. Ayo kutraktir gudeg di depan kampus.”
“Kau mau traktir? Beneran nih? Wah tumben Mas nggak pelit...”
“Hus, sekali-sekali ya ndak apa-apa lah. Ayo cepetan, ntar keburu habis...”

Kami lalu berjalan menyusuri halaman kampus yang rindang, keluar dari ruang musik tempat aku suka mendengarkan Sutrisno bermain piano. Kami duduk di bangku kayu warung pinggiran yang menjual gudeg terenak yang pernah kucicipi. Menurutku, sih.

“Kamu lagi kenapa sih Mut, ada masalah?”
“Nggak...napa kok Mas tahu-tahu nanya begitu?”
“Oh. Ya kirain toh, abisnya kamu bengong mulu, matamu itu loh, kayak pengen nangis terus. Kenapa? Cerita aja sama Abang sini...” tanyanya sambil bergurau.
“Nggak ada apa-apa.”
“Putus sama Mas Anton?”
“Lah itu tahu. Ngapain nanya toh Mas? Iya, dia selingkuh. Putus aku.”
“Tega bener itu Anton. Sini biar Abang geplak mukanya...”

Aku tertawa lepas. Bisa saja si Sutrisno ini. Sepanjang siang itu kami bercakap-cakap mengenai kami yang masing-masing masih single, padahal Mas Sutrisno bukannya nggak bisa dibilang jelek, apalagi aku, seringlah Sutrisno memanggilku neng geulis, yang artinya nona cantik jelita dalam bahasa Jawa.

Mungkin, kami bisa jadi pasangan serasi...

Ups, mikir apa sih aku? Mas Sutrisno kan tipe wanitanya yang seperti putri Solo, aku kan pecicilan, kalah cantik lah sama tipikal putri Keraton... Pakai kebaya aja nggak cocok, lebih cocok pake cheongsam, ya iyalah, aku kan gadis Tionghoa...
“Mut, sebenarnya aku udah lama pengen ngomongin ini ke kamu...”
“Apa toh Mas?” jawabku sambil melahap gudeg yang tersisa.
“Aku suka Mut, sama kamu...”

OHOK! Aku tersedak. Butuh bergelas-gelas air teh sampai aku bisa berbicara dengan jelas.
Yo weis toh kalo emang nggak mau, nggak usah sampe keselek gitu Mut, aku tahu, aku nggak seganteng Anton...”
“Nggak! Bukan begitu. Mas jauh lebih ganteng daripada lelaki manapun...”

Wajahku merona. Aku malu, bisa-bisanya aku berujar seperti itu di depannya...

“Jadi kamu mau nih jadi cewekku?”
“Mau!”
“Haleluya, Puji Tuhan! Eh, sekarang tanggal berapa?”
“12 Desember 2012.”
“Wah, tanggalnya bagus!”
“Nggak bagus. Tepat sebulan aku putus sama Anton.”
“Bodo amatlah, tanggalnya 12-12-12...”
“Eh, iya juga ya. Hahaha!”

Kami pulang bergandengan tangan. Rasanya seperti mimpi, pangeran impianku telah menjadi milikku sepenuhnya di hari yang indah ini. Semoga mimpi ini akan berlangsung lama, tidak seperti hubungan kilatku dengan Anton...

Hari demi hari kulewati bersama Sutrisno. Kami berkeliling Malioboro, Borobudur, wisata kuliner, berbelanja di pasar seni, naik becak berdua keliling Yogya, naik trem ke Solo. Kami berfoto di setiap tempat yang kami kunjungi dengan kamera polaroid. Membuka album kenangan baru. Menggantikan semua foto-foto sampah yang telah kubakar habis. Yang lebih membahagiakan lagi, Ayah dan Ibu menyukai Sutrisno. Katanya, ia pria yang baik budiman, terlihat dari sikap dan gestur tubuhnya. Tatapan matanya tegas, tidak loyo seperti Anton. Heh, dasar playboy kacangan. Ini merupakan sebuah kelegaan yang mendalam bagiku, mengingat Ayah sangat membenci Anton sejak kami baru menjalin hubungan.

Tiba-tiba, muncul sebuah ide gila dalam benak Sutrisno. Waktu itu sedang libur semester.
“Ke Bandung, yuk! Aku ingin ke Paris van Java, ITB...”
ITB? Tempatnya Anton, dong. Aku diam saja.
“Nggak mau ya? Yo weis, ndak apa-apa sih... Kita ke tempat lain saja.”
“Mau kok. Aku juga belum pernah lihat ITB. Dulu kan aku mau masuk situ.”
“Biar bisa ketemu sama Anton ya? Cieee CLBK...”
“Hah! Enak saja. Kalau bisa jangan sampai ketemu deh Mas. Amit-amit jabang bayi.”

Jadilah kami berpetualang ke Bandung atas izin kedua belah pihak orangtua kami. Aneh, bisa-bisanya aku diizinkan semudah ini. Jangan-jangan Sutrisno pakai dukun ya? Ayahku kan pasti sudah ngomong “awas, ntar diperkosa!”... Ah, apa peduliku. Nggak mungkin, Mut. Mustahil pria sebaik Sutrisno kelakuannya seperti itu.
Kami turun di Stasiun Hall, Bandung, lalu langsung menuju rumah Tania, sahabat lamaku. Kami menginap bersama di tempat kosnya. Seusai berberes barang sebentar, kami bertiga langsung berjalan-jalan ke Paris van Java, berbelanja di Dago, Rumah Mode, dan makan batagor Riri. Terakhir, kami menuju ITB.

“Mut, aku mau ke gedung Arsitektur ya, ada barang ketinggalan di kampus...” kata Tania seraya berlari ke dalam gedung.
“... Ya sudah.”
“Moga-moga nggak ada Anton ya...” katanya.
“Amin.”

Kami masuk perlahan ke gedung itu.

Tak lama, aku melihat seorang pria yang kukenal. Anton.
“Mut?” ia terkejut... sepertinya.
“Halo, Ton.” sapaku datar.
“Itu siapa, Sayang?” tanya Mawar sambil menggandeng Anton erat. Centil amat, begini toh pilihan Anton. Masih bagusan juga saya. Ups, nggak boleh narsis...
“Mutia.” Jawab Anton singkat.
“Oh, mantanmu itu?”
“Tutup mulutmu, Mawar.” ujarnya ketus. Rasakan itu, perempuan...
“Maaf, kami sedang buru-buru, permisi ya...” sergah Sutrisno seraya menggandengku pergi keluar dari gedung itu.

“Nggak sopan banget ya cewek baru yayangmu itu... Sebel aku. Makan ati.”
“Hahaha...biarlah Mas. Anton agak labil, matanya katarak... mungkin.”
“Ngaco kamu. Ayo suruh Tania cepetan.” ujarnya sambil tertawa.

Aku mengiyakan sambil mengirim pesan teks ke Tania. Kami lalu berjalan kaki menuju Kartika Sari, hendak membeli brownies panggang untuk oleh-oleh orang rumah.

Aku melihat seorang nenek yang sedang dibantu berjalan oleh anak-anak jalanan. Baiknya... coba Anton berani. Dulu, ia malah takut menyeberang jalan. Pengecut. Coba Sutrisno. Pasti ia rela mempertaruhkan nyawanya untukku... eh, amit-amit ya Tuhan.
Tak sampai sedetik aku berpikir seperti itu, ia berseru.

“Mutia! Awas!”

Yang kuingat hanyalah bunyi klakson mobil dan tubuhku yang didorong ke pinggir jalanan oleh Sutrisno. Setelah menyadari apa yang terjadi, aku berlari ke arah tubuhnya yang terkulai lemas. Ia tertabrak. Kepalanya mengucurkan darah segar.

“Sutrisno!!”

Ia tersenyum lembut. “Nggak apa, Mut... toh memang akhirnya, aku harus mati. Nggak perlu manggil ambulans, aku pasti mati. Panggil polisi saja...”
“Kamu ngomong apa toh Mas...” aku tak kuasa menahan tangis.
“Aku mengidap tumor ganas di otakku. Tiga bulan lagi dan aku akan meninggalkan kamu, Mut. Sisa hidupku tinggal sedikit saja... Yah, aku sudah lelah hidup, Mutia sayang. Bahkan rasa sakit yang sekarang ini tidak terbandingkan dengan semua jenis nyeri yang kerap kurasakan karena tumor otakku.”
“Kalau nggak sakit jangan mati toh Mas...”
“Sudahlah...”

Aku shock. Kenapa aku tidak mengetahui semua fakta ini? Kenapa ia menyembunyikannya dariku...

“Ya masa aku ngasih tahu kamu langsung, Mut? Bisa-bisa kamu banjir air mata...” Sutrisno seakan membaca pikiranku. “Jangan galau lagi ya, Mut. Aku sayang kamu. Aku akan selalu tetap tinggal, hidup di hatimu. Selamanya. Tak lama kita akan bertemu lagi kok Mut, jadi jangan nangis...” tangannya seraya menghapus air mataku. Aku menggenggam tangannya.

Ia menghembuskan nafas terakhirnya.

Yang kuingat hanyalah diriku yang tersungkur di sisinya sambil tetap menggengam kedua tangannya, sirene ambulans, sirene mobil polisi, dan orang-orang yang berteriak minta tambahan bantuan, oksigen, infus, dan tubuhku yang diangkat perlahan oleh petugas ambulans, dipisahkan dari Sutrisno. Selamanya.

Akhirnya, Tuhan mengizinkanku memiliki cinta sejati, juga dicintai seorang pria yang bagaikan malaikat... dalam wujud Sutrisno Wiryadi. Dokterku.

Sutrisno...

Aku tidak akan pernah melupakanmu.

Comments

Popular Posts