A Night in Vienna

Aku termenung.

Di saat seperti ini, aku malah terpaku – duduk di kursi piano yang biasa kumainkan.
Barcarolle, Fur Elise, Gymnopedie. Semua lagu bernada sendu, aku tak tahu mengapa. Cuma lagu-lagu setipe itu yang bisa kumainkan, selain karena temponya pelan, rasanya selalu pas dengan suasana hatiku.
Namun, hari ini jariku tak mampu menekan tuts piano ini. Aku takut akan teringat lagi alunan pianonya, yang sering melantunkan lagu-lagu yang hanya pernah didengar oleh telingaku, dan miliknya. Melodi-melodi yang diciptakannya, hanya untukku.

Aku memutuskan untuk mengambil beberapa lembar kertas dan pena, menutup piano dan menulis sebuah kisah, ya, yang sedang kau baca sekarang. Serta beberapa goresan puisi, di kertas lainnya.

Aku terbawa pulang ke pinggiran kota Saint-Ouen 8 tahun lalu, masa kecilku. Ketika kami masih bisa bergandengan tangan menyusuri jalan di dalam kompleks perumahan kami. Rumah kami hanya berbeda beberapa blok, jadi tiap malam kami bisa bertemu, hanya untuk sekadar berjalan-jalan dengan anjingku, Enrique, selama setengah jam.
Orangtua kami tentu saja tidak tahu – ayahku akan menendangnya jauh-jauh bila sampai ia melihat kami, berciuman sembunyi-sembunyi, berpelukan erat di bawah terang rembulan, dan tertawa sambil bersenda gurau, atau mengobrol tentang apa saja yang terjadi waktu siang hari di atas rerumputan taman, sambil menatap bulan. Yang tahu hanya kami berdua, dan Enrique. Kalau ia bisa bicara, pasti ia sudah mengadu ke ayah ibu kami, dan kami akan dihukum, serta pastilah dilarang untuk bertemu lagi malam-malam.

Aku dibawa pergi, terbang ke Paris, ketika kami sedang berjalan-jalan di Champ de Mars saat malam natal. Malam itu, kencan pertama kali, setelah sebelum-sebelumnya hanya bertemu sepulang misa gereja dan di kompleks perumahan. Aku mengenakan syal Burberry Prorsum yang serupa dengan miliknya, hadiah peringatan setahun hubungan kami. Dipadu dengan leather boots selutut dan hoodie merah yang ia belikan pada saat hari ulang tahunku, dan rok tartan ala pakaian tradisional rakyat Skotlandia, yang kerap kali disebut kilt, namun yang kupakai lebih pendek daripada versi aslinya. Bajunya sangat serasi denganku – ia mengenakan trench coat berwarna hitam serta denim berwarna gelap. Ia sangat tampan, disinari cahaya lampu-lampu yang ada di sepanjang jalan.

Kami berdua masih duduk di bangku SMA waktu itu, namun usianya lebih tua setahun dariku. Ia sesekali tersenyum ketika kami sedang berbincang-bincang, dan tertawa ketika aku mengatakan sesuatu hal yang dianggapnya lucu. Paris musim dingin memang indah, apalagi ditambah gerimis salju yang lembut bagaikan mutiara, namun rapuh bila disentuh jemariku yang hangat. Kemudian, kami naik ke Eiffel Tower dan menikmati secangkir kopi, untuk menghangatkan diri.
Malam itu, adalah malam natal pertamaku yang terindah, sekaligus paling romantis, yang kerap kali muncul dalam beberapa roman dewasa yang sering kubaca.

Sampai akhirnya, aku memutuskan untuk pergi meninggalkan Saint-Ouen, untuk melanjutkan studi pianoku di University of Music and Performing Arts, Vienna. Aku telah memimpikannya sejak kecil, menginjakkan kakiku kembali di salah satu kota terindah dunia...sekaligus kota kelahiranku. Ia dan ibuku telah tinggal di sana sejak tiga tahun lalu. Aku memang bukan gadis Perancis tulen. Namaku memang Renée, nama putri Perancis abad ke-16. Namun ayahku orang Austria, ibuku wanita berdarah Perancis-Italia. Mereka bertemu di sana, di Vienna Philharmonic Orchestra. Ayah adalah concert master, ibu first violin yang selalu duduk di sebelah ayahku. Cinta yang dipertemukan oleh musik, seperti aku dengan Sebastien.

Kami berdua adalah pianis yang kerap kali mengiringi kebaktian di sekolah maupun gereja. Terkadang kami berduet, memainkan Mozart atau Rachmaninoff. Namun, impiku ini kupendam dalam-dalam dari Sebastien. Aku takut ia sedih akan perpisahan yang masih cukup lama sejak pertama kali kami memulai hubungan ini. Namun, akhirnya tiba saatnya. Surat dari universitas yang mengatakan bahwa aku diterima sebagai murid baru, telah sampai ke kotak posku.

Aku mengatakannya dengan suara parau. Waktu itu musim semi, bulan April.

"Aku diterima di University of Music and Performing Arts...di Vienna."
Ia terdiam. Mungkin terkejut? Aku tak tahu.
"Wah, selamat ya! Hebat kamu, itu kan salah satu universitas favorit. Tapi...Vienna? Kau...akan pergi?"
"Iya."
"Kapan?"
"Nanti, bulan Juli."
"Oh...."

Tiba-tiba, ekspresinya berubah. Dari tersenyum bangga, menjadi kecewa. Ia menghela nafas panjang. Wajahnya terpekur, seraya memikirkan sesuatu.
Kemudian ia mengulas senyum, yang entah mengapa, menyiratkan sedikit rasa sedih yang mendalam, namun diredam oleh dirinya.
"Pulang, yuk. Sudah malam."

Aku mengiyakan, lalu menggandeng tangannya menuju kompleks perumahan kami, dalam keheningan.
Kami sama-sama sibuk dalam pikiran masing-masing.

-bersambung

Comments

Popular Posts