À L'eau de Rose: When the Drama Ends
Sekiranya sudah kandas seluruh perasaan
yang tertanam sedari Agustus lalu: suka, tawa, hangat, dekat, cinta, rindu,
risau, curiga, takut, cemburu, iri, duka, sedan, tangis, kecewa, hampa, benci,
dingin, dendam...
Begitulah kalau telingamu terbuka lebar
untuk dirayu sambil ditipu, juga bila hatimu terlalu mudah dipikat tampak luar
seseorang, yang luarnya seharum melati namun dalamnya setajam keris.
Bau busuk dari dalampun tak terendus
hidung, maka demikian diri ini akan berharap lebih tinggi lagi dan lagi padanya
sampai akhirnya, ya, segenap mata dan otakku bekerja lagi: bukan inilah yang
baik adanya. Bukan ia orangnya. Jangankan itu, kenalpun tidak, ternyata. Kemudian
kau merasa bodoh sebodoh-bodohnya: mengapa kusia-siakan waktu segini banyak
untuk seorang yang tidak berhak?
Kupungut sisa pecahan yang terserak,
kurekatkan mereka, bersama bagian yang retak. Biarlah tidak berbentuk semula, karena
selalu seperti itu. Hati manusia memang hebat, tahan banting. Semakin disakiti
semakin kuat, begitu juga seterusnya. Seperti pisau yang semakin diasah, atau
pensil yang kau raut agar tajam dan tegas goresannya. Seperti itu.
Sudah selesai semuanya, sudah berakhir
drama picisan itu. Aku tak inginlah jadi pendendam, tidak baiklah buat
kesehatan – risiko kanker, tumor, depresi kronis, dementia, insomnia, sampai
yang sederhana namun begitu menyakitkan: penyakit lambung. Stres memang hebat,
melepaskan hormon noradrenalin yang demikian beracun, juga membuat kondisi
tubuh menjadi asam. Mungkin karena melepas lebih banyak ion hidrogen. Ya,
seperti raut seorang kalau melihat musuhnya lewat.
Yang kutahu cuma satu: semua ini terjadi
karena hatiku yang terlalu lunak, otakku kurang waspada, oleh sebab itu
perasaan jiwalah yang menggerakan semuanya. Otak kehilangan fungsinya,
suaranya. Kalah oleh cinta atau nafsu belaka. Ya, begitulah kami, kaum wanita... Ah, semua manusia
bumi, barangkali. Terlarut dalam impian belaka, seringkali malah tersesat di dalam angan-angannya sendiri; dijemput pangeran tampan nan berkuda sesuai dambaan hati, atau meminang seorang putri nan jelita di kerajaan seberang, lalu hidup bahagia.
Kau tentunya sudah tahu hanya di dongeng kau akan dapatkan cerita seperti itu. Seluruh aspek kehidupan manusia ialah mencakup tragedi: yang dilahirkan malah menangis ketika semuanya bersorak sorai menyambut keajaiban; yang mati secara wajar malahan tersenyum lega karena penderitaannya habis sudah di bumi ini, selagi yang lainnya menangisi karena ditinggal terlebih dulu...
Kau tahu? Bahkan untuk beberapa saat, tiap aku ketikkan sesuatu di telepon genggam,... nama dia lagi, nama dia lagi yang kuketik, padahal bukan itu yang mau kuketik...
Kau tahu betapa jadi kecutnya rautku tiap aku melihat mukanya tanpa kusadari?
Rusak sudah otak ini. Efisiensinya menurun drastis.
Kau tentunya sudah tahu hanya di dongeng kau akan dapatkan cerita seperti itu. Seluruh aspek kehidupan manusia ialah mencakup tragedi: yang dilahirkan malah menangis ketika semuanya bersorak sorai menyambut keajaiban; yang mati secara wajar malahan tersenyum lega karena penderitaannya habis sudah di bumi ini, selagi yang lainnya menangisi karena ditinggal terlebih dulu...
Kau tahu? Bahkan untuk beberapa saat, tiap aku ketikkan sesuatu di telepon genggam,... nama dia lagi, nama dia lagi yang kuketik, padahal bukan itu yang mau kuketik...
Kau tahu betapa jadi kecutnya rautku tiap aku melihat mukanya tanpa kusadari?
Rusak sudah otak ini. Efisiensinya menurun drastis.
Tidak cukupkah untukmu sekali, dua kali
pengalaman yang serupa menghajarmu, membuat tatap matamu kosong penuh
kebingungan, otakmu yang kehilangan kecekatannya untuk menjawab satu dua pertanyaan sederhana, insomnia
berkepanjangan, konsentrasi yang menguap cepat menjadi kering bagai alkohol tercecer, degup jantung
yang berdebar begitu kencang tanpa alasan seakan telah berpindah ke dekat
gendang telinga, dengingan berfrekuensi tinggi di salah satu telinga atau keduanya yang kerap muncul dan hilang sendiri, sakit kepala yang tidak jelas asal muasalnya, membuatku menduga telah berakar sebuah pohon sesawi demikian kokoh di balik dahi ini, dan yang terakhir: hati yang berat ingin mencurahkan isinya namun tiada kata mau
terucap – karena ego, karena memalukan pula, siapa juga yang mau sudi dengarkan – di masa lampau?
Ketika itu sepanjang lima hari telah
kuhabiskan dengan tidur hanya sejam dua jam... Rasanya seperti tidak sedetikpun
aku bisa terlelap pulas, mungkin karena terlalu sebentar... Ah, jangankan lima,
tiga hari cukup sudah untuk mengikis nalar.
Sehari kau tak bisa tidur, esokannya pasti semakin sulit, dan seterusnya... Bagai lupa cara tenggelam dalam tidur.
Sehari kau tak bisa tidur, esokannya pasti semakin sulit, dan seterusnya... Bagai lupa cara tenggelam dalam tidur.
Untunglah yang kali ini tidak: sedu
sedan cuma sekali, semenit. Pertama dan terakhir, untuknya. Mengapa bisa
begitu? Mungkin, mungkin karena sesungguhnya memang tidak pantas diratapi. Atau
rasa itu belum terlalu dalam menembus. Bukan kutahan, namun memang kelenjar air
mata itu tidak kunjung membuka kerannya; sudah tahulah ia yang mana yang perlu
atau tidak.
Namun tetap saja ada efek sampingnya,
entah kaudapati nilai sekolahmu sedikit merosot, atau berubahnya pandanganmu
mengenai sebangsa dirinya: kaum lelaki.
Karena banyak dari mereka yang sembunyi di
air tenang; menunggu mangsa. Bukan cuma satu. Masih ada dua atau tiga sebagai
ganti rugi bila mangsa utamanya itu berhasil lolos dari segenap cengkramannya.
Walau tidak semuanya seperti itu. Aku tahulah banyak yang baik budiman pula.
Namun masih sampai detik ini kupegang teguh sekuat-kuatnya: hanya lelaki dengan status ayah resmimu kaubisa percaya
seratus persen.
Aku harap kau, yang barangkali seorang pria, tidak tersinggung atas pernyataanku yang mungkin, demikian tajam ini, karena aku tidak ada maksud mencela sama sekali. Ini cuma sebagian kecil dari luka yang ingin kubuang jauh-jauh, yang ingin kuceriterakan.
Aku harap kau, yang barangkali seorang pria, tidak tersinggung atas pernyataanku yang mungkin, demikian tajam ini, karena aku tidak ada maksud mencela sama sekali. Ini cuma sebagian kecil dari luka yang ingin kubuang jauh-jauh, yang ingin kuceriterakan.
Itulah alasan utama mengapa sejak kecil,
kami para wanita diajar haruslah lemah lembut namun tetap waspada, menjaga
kehormatan kaum wanita yang rapuh itu senantiasa, juga hendaknya berpikir
seperti pria yang selalu berlandaskan logika, mengabaikan perasaan yang seringkali
berbeda pendapat dengan akal sehat.
Ah, manusia memang terlalu sering bertepuk sebelah tangan, teman. Entah kenapa.
Ah, manusia memang terlalu sering bertepuk sebelah tangan, teman. Entah kenapa.
Sekiranya hati ini sekarang telah sekali
lagi, dikuatkanNya, diteguhkanNya. Sudah lepas semua kepahitan yang mengikatku demikian lama, sudah legalah hati ini dari semua dendam tertanam. Bagianku telah terlaksana olehku sendiri: mengampuni; takkan pernah aku mampu mengubah yang sudah tertulis. Kakiku kelak akan melangkah kembali ke jalan setapakku sendiri untuk masa sekarang ini: menjadi pelajar SMA yang tidak kenal kata menyerah untuk mengejar mimpi-mimpi besarnya ke seberang lautan sekalipun...
Dan bersamaan dengan selesainya tulisan ini, kiranya pandanganku tidak akan pernah beralih pada wajahnya lagi.
Dan bersamaan dengan selesainya tulisan ini, kiranya pandanganku tidak akan pernah beralih pada wajahnya lagi.
Tangerang,
2012
Comments
Post a Comment