Getir
Tepat empat belas jam lagi.
Namun, mengapa aku tak senang hati?
Aku takut, ia ingkar janji.
Aku tak menariklah... bila diamati
Aku membosankan. Mungkin. Menurutmu.
Bahas apa lagi? Akupun tak tahu. Coba kau mulai dahulu.
Aku ingin tahu dirimu, namun kutahan selalu.
Aku ingin berkata lebih jujur, namun apa dayaku.
Sekali kata cinta, mungkin kau kabur dariku.
Aku bocah. Namun jangan kauberi harapan palsu
Aku gadis, mungkin salah tingkah. Di depanmu.
Entah hanya diam, entah termangu.
Entah menunduk, entah menoleh hadapmu.
Tak boleh, tak boleh maju dahulu
Aku wanita, tak sopanlah selalu.
Apa-apa pria, aku harus menunggu.
Sampai kapan kau mau seperti itu?
Aku bukan gantungan besi, di lemari baju.
Apa perasaanmu? Mengenaiku? Atau tentangnya?
Masihkah kau sayang dirinya? Wanita yang sama?
Masihkah kau punya separuh untukku, rasa cinta yang setara?
Yang lebih nyata? Jawablah... diriku, seperti ini tersiksa
Tak cukupkah setengah tahun... untuknya
Untuk merindukan dirinya, untuk menanti dirinya
Kau tahu? Ia takkan kembali... sudahlah, lupakan saja
Sekali putus, tambangpun sudahlah tak sempurna
Bukankah lebih baik dicintai? Ah, omong kosong.
Tak mengerti cinta. Tak harus memiliki? Bohong.
Manusia itu egois! Ingin dicinta, pula mencinta, ingin keduanya!
Tapi apa daya? Apa mampuku memaksa bila berbeda rasa?
Rasa cinta, ah...racun, membunuh jiwa, menyiksa raga
Dirimu racunnya, dirimu penawarnya
Tak jelas...bagaikan terbang...kemudian, jatuh juga
Terjerembab, tenggelam di dasar sumur nelangsa
Karena cinta, ya, karenanya otakku tidak bekerja!
Ah, andai... andai kutahu.
Apa yang tersirat di pikirmu.
Siapakah aku, bagimu?
Bisikkan aku, walau hampa rasamu.
Kosong, sayang. Hanya aku yang berjuang untukmu.
Akankah kau berperang... demi diriku?
Aku tidak suka sepihak, seperti ini
Aku sedih, mataku penuh air mata...ingin berurai
Karena, terulang lagi, dan lagi...
Aku bertepuk sebelah tangan...sekali lagi...
Bapa, aku benci. Namun aku cinta. Ingin dirinya.
Aku lelah, aku letih. Namun hati kerap bicara.
Bahwa aku meradang. Menginginkannya. Merindukannya.
Suatu saatpun, ia akan tahu... tulisan ini kan terbaca
Dan saat itulah, mungkin detik terakhirku... melihat senyumnya
Yang berubah menjadi raut pucat kasihan, karena sekedar iba
Karena perasaannya, tidak seperti ini juga...
Maafkan aku, aku... menyukaimu... apa adanya
Namun, mengapa aku tak senang hati?
Aku takut, ia ingkar janji.
Aku tak menariklah... bila diamati
Aku membosankan. Mungkin. Menurutmu.
Bahas apa lagi? Akupun tak tahu. Coba kau mulai dahulu.
Aku ingin tahu dirimu, namun kutahan selalu.
Aku ingin berkata lebih jujur, namun apa dayaku.
Sekali kata cinta, mungkin kau kabur dariku.
Aku bocah. Namun jangan kauberi harapan palsu
Aku gadis, mungkin salah tingkah. Di depanmu.
Entah hanya diam, entah termangu.
Entah menunduk, entah menoleh hadapmu.
Tak boleh, tak boleh maju dahulu
Aku wanita, tak sopanlah selalu.
Apa-apa pria, aku harus menunggu.
Sampai kapan kau mau seperti itu?
Aku bukan gantungan besi, di lemari baju.
Apa perasaanmu? Mengenaiku? Atau tentangnya?
Masihkah kau sayang dirinya? Wanita yang sama?
Masihkah kau punya separuh untukku, rasa cinta yang setara?
Yang lebih nyata? Jawablah... diriku, seperti ini tersiksa
Tak cukupkah setengah tahun... untuknya
Untuk merindukan dirinya, untuk menanti dirinya
Kau tahu? Ia takkan kembali... sudahlah, lupakan saja
Sekali putus, tambangpun sudahlah tak sempurna
Bukankah lebih baik dicintai? Ah, omong kosong.
Tak mengerti cinta. Tak harus memiliki? Bohong.
Manusia itu egois! Ingin dicinta, pula mencinta, ingin keduanya!
Tapi apa daya? Apa mampuku memaksa bila berbeda rasa?
Rasa cinta, ah...racun, membunuh jiwa, menyiksa raga
Dirimu racunnya, dirimu penawarnya
Tak jelas...bagaikan terbang...kemudian, jatuh juga
Terjerembab, tenggelam di dasar sumur nelangsa
Karena cinta, ya, karenanya otakku tidak bekerja!
Ah, andai... andai kutahu.
Apa yang tersirat di pikirmu.
Siapakah aku, bagimu?
Bisikkan aku, walau hampa rasamu.
Kosong, sayang. Hanya aku yang berjuang untukmu.
Akankah kau berperang... demi diriku?
Aku tidak suka sepihak, seperti ini
Aku sedih, mataku penuh air mata...ingin berurai
Karena, terulang lagi, dan lagi...
Aku bertepuk sebelah tangan...sekali lagi...
Bapa, aku benci. Namun aku cinta. Ingin dirinya.
Aku lelah, aku letih. Namun hati kerap bicara.
Bahwa aku meradang. Menginginkannya. Merindukannya.
Suatu saatpun, ia akan tahu... tulisan ini kan terbaca
Dan saat itulah, mungkin detik terakhirku... melihat senyumnya
Yang berubah menjadi raut pucat kasihan, karena sekedar iba
Karena perasaannya, tidak seperti ini juga...
Maafkan aku, aku... menyukaimu... apa adanya
Comments
Post a Comment