Deja vu.
dé·jà vu
noun
Psychology. The illusion of having previously experienced something actually being encountered for the first time.
Yah... setidaknya itulah yang bisa kudapatkan dari kamus kecil Bahasa Inggrisku untuk menjelaskan mengenainya, ketika suatu ilusi yang membuat kita seakan telah mengalami sesuatu, atau melihat sesuatu. Seperti yang kualami sekarang.
...
Terlintas di benakku, bagaimanakah caranya agar hatiku ini, mampu melupakan segenap kenangan yang telah mengikatku erat selama ini dengan rasa kesepian yang mendalam?
Aku menginginkannya. Arthur.
Enam bulan pun rasanya tidak akan cukup untuk menghapus rupa wajahnya dari hati serta pikiranku.
Entah apalah yang mendorongku untuk berbuat hal ini... tidak seperti biasanya. Di musim dingin San Francisco yang anginnya terkenal amat menusuk ini, aku bergegas mengganti cardigan tipisku dengan trench coat berwarna beige yang kusuka, setelah aku melihat ada iklan art exhibition yang terselip di antara majalah-majalah wanita yang berserakan di lantai. Apa sih yang kulakukan?
Setibanya di sana, aku melihat begitu banyak lukisan-lukisan yang sudah terkenal. Monet, Picasso, Salvador Dali, Leonardo Da Vinci, dan masih banyak lagi. Semua disusun secara apik, tersebar merata di seluruh penjuru lorong gedung serbaguna ini, dilengkapi dengan sistem penerangan yang remang-remang dan kedap cahaya matahari demi melindungi mereka dari kerusakan yang mungkin akan terjadi dalam waktu yang lama bila dibiarkan terkena cahaya matahari sembarangan.
Namun ketika aku sedang berjalan menyusuri lorong itu, aku menemukan suatu pintu yang mengarah ke tempat martial arts dipamerkan. Aku tidak begitu tertarik pada dasarnya, namun sepasang kakiku entah mengapa ingin berjalan ke tempat itu. Di dalamnya banyak lukisan yang menggambarkan pendekar-pendekar China, begitu gagah, lengkap pula dengan kaligrafi huruf China dari zaman dahulu sampai sekarang.
Semuanya indah, tetapi satu. Satu yang berbeda. Mataku lantas tertuju pada seorang pria yang sedang memperagakan suatu jurus Kung Fu dengan pakaian tradisionalnya, seperti yang dipakai Bruce Lee, berwarna putih bersih. Ia melakukannya di samping stand perguruan Kung Fu ternama.
Begitu gagah, namun lembut. Inikah salah satu alasan mengapa Kung Fu dimasukkan dalam kategori martial arts? Benar-benar sebuah karsa seni yang indah.
Ketika aku terpana seperti orang bodoh, pria China itu menghampiriku.
"Nona, mengapa kau melihatku dengan ekspresi seperti itu?"
"Astaga! Maaf... Aku kaget. Em, halo." jawabku gagap.
"Halo juga. Kau suka Kung Fu? Ingin belajar?"
"Tidak...eh, maaf, maksudku, aku suka jurusmu yang tadi. Itu indah sekali."
"Oh ya? Terima kasih. Itu jurus kakekku, ia yang mengajarkannya padaku."
"Bukan oleh perguruan?"
"Itu perguruan kakekku, actually." ujarnya dengan aksen British yang kental.
"Oooh."
"Anyway. Namamu siapa, Nona?" sekejap, nada bicaranya berubah menjadi aksen Chinese.
"Charlotte. Charlotte Liu."
"Kenalkan. Namaku Li Xiao Wen. Panggil saja Xiao Wen, atau kalau kamu lebih suka nama Inggris, namaku Kevin Lee. Cara pengucapannya sedikit mirip, yah, begitulah. Kau punya nama Chinese? Wajahmu oriental, namun namamu Charlotte..."
"Well... namaku Liu Wei Ling. Namun tak pernah kupakai secara nyata di kehidupan sehari-hariku. Hanya segelintir teman-temanku yang tahu. Aneh rasanya dipanggil Wei Ling oleh teman-temanku, cukup kedua orangtuaku dan adikku saja. Ayahku orang China asli, ibu wanita berdarah Irlandia. Makanya, logatku jadi campur-campur begini. Kau sendiri? Mengapa logat Inggrismu kental sekali?
"Hmm. Mungkin karena aku lahir di London dan tinggal di sana sampai aku beranjak remaja? Aku saja tidak sadar kalau aksenku masih bernada British, kukira aku sudah terpengaruh logat Amerika yang kudengar sehari-harinya..."
"Tidak kok. Masih terdengar jelas. Kecuali saat kau menanyakan namaku."
Ia tergelak. "Ya iyalah, aku kan orang China asli. Banyak yang bilang, aksenku berubah-ubah. Makanya, aku sedikit heran ketika kau bilang aku berbicara dengan aksen Inggris yang kental."
Saat mendengar tawanya, aku seperti teringat sesuatu.
"Kevin, apakah kita pernah bertemu?"
"Hah? Kapan?"
"Tak tahu. Rasanya aku seperti mengenalmu..."
"Oh ya? Hmm, kata orang, itu deja vu."
"Deja vu?"
"Ya, deja vu. Ketika kau merasa bahwa kita pernah mengenal satu sama lain."
"Apakah itu hal yang baik?"
"Menurutku, ya."
Mungkin, aku memang pernah mengenalnya. Entah berapa dekade yang telah lalu.
- to be continued
Comments
Post a Comment