Sehelai Papirus

...

Banyak orang masuk keluar dalam rumah hidupku: ada yang tinggal di dalamnya dan menjadi segenap berkat bagiku, ada yang menginap lalu pulang dan berkunjung lagi sesekali, ada pula yang malah menjadi sebongkah batu sandungan, dan selalu ada yang hanya mampir ngombe barang seberapa waktu, memuji halamanku atau melontarkan hinaan sambil meludah di tempat yang sama, lalu pulang tanpa peduli si majikan rumah melihat atau tidak, dan melupakannya. Atau yang selalu begitu merusak tanpa ia sadari. Secara tidak sadar cenderung memanfaatkan, mempergunakannya dalam waktu yang bervariasi, entah pelataran rumah, entah ruang tamunya, atau kamar tidurnya.

Ironisnya, hal-hal yang merusak itu lebih sering dilakukan daripada yang tidak merusak, dan biasanya diprakarsai oleh orang-orang yang tidak terlalu mengenal sang majikan yang malang.

Lantas kau yang mana, kawan? Tanyalah nuranimu, tak perlu dan kurang bijaksana adanya bila kujawab; sebab manusia tidak diperbolehkan menghakimi sesamanya. 

Namun bila kau tersinggung, ingatlah satu hal: yang memperbolehkan diri kita untuk terluka itu kita sendiri. 

Aku, sebagai kreator tunggal tulisan ini, hanya ingin mengungkapkan realita hidup yang seringkali penuh dengan ketidakadilan. Tidak ada maksud sama sekali untuk menyindir. Mengapa? Karena pada akhirnya tidak ada satupun hal baik kutemukan dalam sebuah sarkasme yang menjurus ke suatu pribadi, maupun secara tersirat, tersurat, tertulis, atau lisan. Tidak ada gunanya mengritik kalau kau hanya bermaksud menjatuhkan harga diri seseorang...

Namun memang, terkadang burung tidak diizinkan berkicau. Suaranya entah terlalu berisik; terlalu sering sehingga menusuk gendang telinga, sehingga tangan-tangan besar itu mengusirnya dari atap rumah. Namun, setidaknya ia masih bisa berkicau di rumahnya sendiri... Di sarangnya sendiri.

Dan kutahu pula detik itu, satu fakta menyedihkan: seringkali tidak cukuplah berhargalah diriku untuk diperhatikan, disayang, diutamakan, disegani, dibela, tidak pantaslah untuk diperjuangkan sampai titik darah penghabisan. Aku mungkin dapat menganalogikan diriku dengan kertas yang telah bertuliskan bagian awal dari keseluruhan kisah yang belum pula selesai di bagian atasnya oleh beberapa kreator, namun sudah keburu remuk diremas tangan-tangan kejam para penulis tidak bertanggungjawab itu yang kiranya terlalu malas untuk menyelesaikan kisahnya sendiri, atau hanya bosan akan tekstur kertasnya. Tak pernah sanggup melawan, hanya pasrah dibuang kedalam bak sampah: terkadang dengan beberapa bonus umpatan menghakimi. Sifat dasar manusia yang kerap muncul: habis manis, sepah dibuang.

Bukankah setidaknya aku pernah punya nilai guna? Si kertas hanya bisa memaafkan dan berusaha keras melupakan sang kreator, tak peduli betapa indahnya kisah yang telah tersusun sebagian, yang masih mampu ia baca sebagian di tengah kesuraman bak sampah...

Terkadang, jika beruntung, ada yang mengambilku kembali. Setelah itu nasibku tinggal dua kemungkinan: dibuang lagi karena sudah kehilangan nilai jual, atau malah disimpan setulus-tulusnya agar ia, orang baikhati itu, dapat menggoreskan penanya untuk satu atau dua paragraf baru diatasku, mengenai kisah bahagia tanpa peduli betapa buruknya kualitas kertas itu.

Lalu bagaimana bila nasib kertas itu sedang tidak terlalu beruntung?

Mungkin hancur, atau terurai sedikit oleh ribuan mikroorganisme di dalam tempat pembuangan itu. Atau sobek tergores barang lain. Atau yang terburuk adalah terbakar api rokok yang jatuh ke dalam tong sampah kebinasaan itu. Karena dalam kasus ini sepertinya sang kertas bukan kertas putih hasil kayu pinus yang diproses; melainkan selembar papirus yang rapuh...

Sekiranya kalau itu terjadi, walaupun air mata ini menetes demikian rupa, mungkin tidak ada akan yang peduli, tidak ada yang sudi mengerti; aku memang sudah digariskan untuk tersedu sendiri di atas bantalku yang basah kuyup tanpa suara barang sedikitpun ...

Dan seringkali yang terjadi adalah, segala keraguan mengenai seseorang itu selalu tersapu bersih setiap aku mendengar suaranya... Tiap aku memandang kedua belah matanya yang masih, sampai hari ini, merupakan suatu teka-teki yang rumit bagiku.

Hati kecil ini akan berkata: ia tidak mempunyai maksud jahat... ia tulus menyayangimu. Seperti engkau menyayanginya. 

Sepenuh hatinya.

Comments

Popular Posts