Céleste

...

Karena paradoks mimpi ini mulai menyelimuti benakku, sekiranya aku harus membuka mataku lebar-lebar.

Apa yang sekarang dihadapanku?

Kenyataan.

Bulan bukanlah saudara bintang, sayang...

Terlalu jauh. Terlalu berbeda. Aku empunya cahaya; ia tidak. Aku panas abadi, ia tidak. Ia dapat sedingin es, dapat terbakar mendidih... Aku tidak. Aku tetap menyala. Bagaikan api, yang kelak meredup, lalu meledak...dan menjadi kepingan neutron yang melayang. Untuk lahir kembali, menjadi kurcaci putih...

Atau menjadi black hole, meraup segala yang didekatku. Termasuk dirinya.

Namun ia bulan. Ia tidak hidup, tidak mati. Kami berbeda.

Aku gas helium, ringan mengapung. Ia batuan padat, berat tenggelam. Berputar di siklus yang serupa, namun bukan tata suryaku...

Itu saja sudah cukup berbeda. Apalagi yang kauharapkan? Mengapa kehangatan maya itu kaugenggam, seakan itu nyata?

Mereka hanya proyeksi, imaji perasaanmu... di lubuk hatimu yang terdalam. Sebab sebuah mimpi, seringkali, hanyalah mimpi, hanya bunga tidur. Seindah apapun itu. Bukanlah pertanda. Bukanlah awal dan akhir...bukanlah alasan dari sebuah reaksi. Maka, bangunlah: bukalah matamu.

Walau begitu, masih tersisa di jemariku... 

Begitu hangat.

Comments

Popular Posts