Hanya Aku dan Dia
Alarm sial itu berdering lagi. “Kriing!”
Uh, mengapa alarm itu harus berdering pada pagi buta seperti ini? Bikin kesal saja. Aku mematikan tombolnya dan melempar jam tersebut ke arah mejaku, yang akhirnya menabrak bingkai foto seseorang sampai jatuh dan pecah berantakan. Dua barang yang telah menemaniku selama tiga tahun itu pun rusak pada pagi ini. Aku terburu-buru ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku tidak boleh terlambat.
30 menit kemudian, aku tiba di sekolah dan berpapasan dengannya di depan kelas. Ia tetap tampan seperti biasa. Pandangan matanya dan senyum manisnya tidak pernah berubah. Lalu, akupun memberanikan diri untuk menyapanya.
“Jose.” sapaku sambil tersenyum.
Tidak ada jawaban.
Apakah ia tidak mendengar suaraku?
Yah, mungkin ia memang tidak mau membalas sapaanku. Peduli amat, aku juga sudah tahu kalau ia menyukai gadis lain yang jauh lebih manis dariku. Aku ini bukan siapa-siapa dibanding gadis itu.
Aku memasuki ruang kelas dengan pasrah dan melihat ke arah tempat duduk Jose. Apakah tempat duduk di sebelahnya masih kosong?
Tidak. Sudah ada tas berwarna merah muda di atas kursi itu.
Ternyata ia telah duduk bersebelahan dengan gadis yang disukainya. Padahal, aku sudah susah payah bangun lebih pagi agar aku bisa duduk bersebelahan dengannya.
Aku membanting tasku ke lantai dan duduk di tempat yang jauh dari mereka. Dari jauh aku dapat melihat mereka saling berbisik-bisik sambil tertawa, seakan menertawaiku. Aku hanya menghela napas dan menjatuhkan kepalaku di meja. Aku menatap kenyataan itu dan menangis tanpa suara.
Dari sela-sela helai rambutku, aku dapat melihatnya berjalan bersama teman-temanku ke arah mejaku. “Aileen,” panggilnya.
“Apa?”
“Happy birthday ya Lin. Loh, kenapa lo nangis?”
Aku baru ingat, ini hari ulang tahunku. Aku terdiam sejenak.
“...Em, ya sudah deh, nggak penting. Lupain aja. Pulang sekolah kita mau ngajak lo jalan-jalan loh, mau nggak? Kita mau ngerayain hari ulang tahun lo.” tanyanya.
“Mau. Ya sudah, ntar siang kita berangkat sama-sama ya. Thanks Jos.” kataku tanpa berpikir lebih dahulu. Jalan-jalan sama Jose? Sudah pasti aku mau ikut! Aku mengusap air mataku seraya berjalan ke toilet bersama temanku dan tersenyum lebar. J
Pulang sekolah, kami berjalan-jalan di mall dan makan siang bersama. Tentu saja, gadis yang disukai Jose itu tidak ikut bersama kami. Kami bernyanyi di karaoke sampai puas. Tidak ada yang bisa menyanyi merdu di antara kami, sehingga acara karaoke tersebut menjadi lomba melucu dan kami dibuat tertawa terbahak-bahak karenanya.
Tak terasa, hari sudah menjelang malam. Kami pun mengucapkan selamat tinggal dan berpisah di jalan. Aku dan Jose pun pulang berdua, karena rumahku berdekatan dengannya. Kami berjalan berdua tanpa berbicara apa-apa, sampai akhirnya Jose mengatakan sesuatu saat kami sedang menyeberang di zebra cross.
“Lin, aku mau ngomong sesuatu...”
“Tentang apa?”
“Sebenarnya dari dulu aku...”
Tiba-tiba, ada mobil yang melaju dengan cepat dan tidak beraturan menuju kami berdua. Tak kuasa menghindar, Jose mendorongku ke pinggir jalan raya. Pemandangan yang terakhir kulihat adalah tubuhnya yang terhempas ke tengah jalanan.
Aku berlari menghampirinya.
“Jose!”
Teman-temanku yang masih ada di sekitar zebra cross tersebut juga berlari mengejarku. Ia menggenggam tanganku dan berkata dengan perlahan.
“Lin, yang tadi...aku hanya mau bilang kalau aku suka padamu.”
“Aku juga...” jawabku. Ia tersenyum, dan melepas tanganku perlahan seraya menghembuskan napas terakhirnya. Aku mengguncang tubuhnya dan memanggil namanya, seakan tidak percaya bahwa ia sudah tidak bernyawa. Sopir mobil yang menabrak Jose mencoba menghubungi 911 dengan panik, tetapi sudah terlambat. Aku menangis dan tak sadarkan diri di pelukan sahabatku.
“Aileen.”
Siapa, sih? Berisik.
“Aileen!” panggil suara itu. Perlahan-lahan aku membuka mataku, dan yang tampak di mataku adalah Jose yang mengenakan seragam dan memegang buku PR milikku. Aku telah kembali ke dalam kelasku, di kursi yang kududuki sejak pagi.
“Hei, bangun dong. Jangan tidur melulu. Lihat tuh mata lo, bengkak. Ngiler lagi. Nanti gw mau nyalin PR lo ya. Boleh kan?” katanya, sambil tertawa jail.
Jose masih hidup.
Jadi, yang tadi itu hanya mimpi?
Aku tak dapat menahan diriku untuk tertawa.
Uh, mengapa alarm itu harus berdering pada pagi buta seperti ini? Bikin kesal saja. Aku mematikan tombolnya dan melempar jam tersebut ke arah mejaku, yang akhirnya menabrak bingkai foto seseorang sampai jatuh dan pecah berantakan. Dua barang yang telah menemaniku selama tiga tahun itu pun rusak pada pagi ini. Aku terburu-buru ke kamar mandi dan bersiap-siap untuk pergi ke sekolah. Aku tidak boleh terlambat.
30 menit kemudian, aku tiba di sekolah dan berpapasan dengannya di depan kelas. Ia tetap tampan seperti biasa. Pandangan matanya dan senyum manisnya tidak pernah berubah. Lalu, akupun memberanikan diri untuk menyapanya.
“Jose.” sapaku sambil tersenyum.
Tidak ada jawaban.
Apakah ia tidak mendengar suaraku?
Yah, mungkin ia memang tidak mau membalas sapaanku. Peduli amat, aku juga sudah tahu kalau ia menyukai gadis lain yang jauh lebih manis dariku. Aku ini bukan siapa-siapa dibanding gadis itu.
Aku memasuki ruang kelas dengan pasrah dan melihat ke arah tempat duduk Jose. Apakah tempat duduk di sebelahnya masih kosong?
Tidak. Sudah ada tas berwarna merah muda di atas kursi itu.
Ternyata ia telah duduk bersebelahan dengan gadis yang disukainya. Padahal, aku sudah susah payah bangun lebih pagi agar aku bisa duduk bersebelahan dengannya.
Aku membanting tasku ke lantai dan duduk di tempat yang jauh dari mereka. Dari jauh aku dapat melihat mereka saling berbisik-bisik sambil tertawa, seakan menertawaiku. Aku hanya menghela napas dan menjatuhkan kepalaku di meja. Aku menatap kenyataan itu dan menangis tanpa suara.
Dari sela-sela helai rambutku, aku dapat melihatnya berjalan bersama teman-temanku ke arah mejaku. “Aileen,” panggilnya.
“Apa?”
“Happy birthday ya Lin. Loh, kenapa lo nangis?”
Aku baru ingat, ini hari ulang tahunku. Aku terdiam sejenak.
“...Em, ya sudah deh, nggak penting. Lupain aja. Pulang sekolah kita mau ngajak lo jalan-jalan loh, mau nggak? Kita mau ngerayain hari ulang tahun lo.” tanyanya.
“Mau. Ya sudah, ntar siang kita berangkat sama-sama ya. Thanks Jos.” kataku tanpa berpikir lebih dahulu. Jalan-jalan sama Jose? Sudah pasti aku mau ikut! Aku mengusap air mataku seraya berjalan ke toilet bersama temanku dan tersenyum lebar. J
Pulang sekolah, kami berjalan-jalan di mall dan makan siang bersama. Tentu saja, gadis yang disukai Jose itu tidak ikut bersama kami. Kami bernyanyi di karaoke sampai puas. Tidak ada yang bisa menyanyi merdu di antara kami, sehingga acara karaoke tersebut menjadi lomba melucu dan kami dibuat tertawa terbahak-bahak karenanya.
Tak terasa, hari sudah menjelang malam. Kami pun mengucapkan selamat tinggal dan berpisah di jalan. Aku dan Jose pun pulang berdua, karena rumahku berdekatan dengannya. Kami berjalan berdua tanpa berbicara apa-apa, sampai akhirnya Jose mengatakan sesuatu saat kami sedang menyeberang di zebra cross.
“Lin, aku mau ngomong sesuatu...”
“Tentang apa?”
“Sebenarnya dari dulu aku...”
Tiba-tiba, ada mobil yang melaju dengan cepat dan tidak beraturan menuju kami berdua. Tak kuasa menghindar, Jose mendorongku ke pinggir jalan raya. Pemandangan yang terakhir kulihat adalah tubuhnya yang terhempas ke tengah jalanan.
Aku berlari menghampirinya.
“Jose!”
Teman-temanku yang masih ada di sekitar zebra cross tersebut juga berlari mengejarku. Ia menggenggam tanganku dan berkata dengan perlahan.
“Lin, yang tadi...aku hanya mau bilang kalau aku suka padamu.”
“Aku juga...” jawabku. Ia tersenyum, dan melepas tanganku perlahan seraya menghembuskan napas terakhirnya. Aku mengguncang tubuhnya dan memanggil namanya, seakan tidak percaya bahwa ia sudah tidak bernyawa. Sopir mobil yang menabrak Jose mencoba menghubungi 911 dengan panik, tetapi sudah terlambat. Aku menangis dan tak sadarkan diri di pelukan sahabatku.
“Aileen.”
Siapa, sih? Berisik.
“Aileen!” panggil suara itu. Perlahan-lahan aku membuka mataku, dan yang tampak di mataku adalah Jose yang mengenakan seragam dan memegang buku PR milikku. Aku telah kembali ke dalam kelasku, di kursi yang kududuki sejak pagi.
“Hei, bangun dong. Jangan tidur melulu. Lihat tuh mata lo, bengkak. Ngiler lagi. Nanti gw mau nyalin PR lo ya. Boleh kan?” katanya, sambil tertawa jail.
Jose masih hidup.
Jadi, yang tadi itu hanya mimpi?
Aku tak dapat menahan diriku untuk tertawa.
Comments
Post a Comment